Nabari Ginting, Sang Nakhoda di Tengah Badai

Serial Profil Singkat Tim Ahli Jurnal Pemerintahan
Redaksi - Senin, 14 November 2022 16:01 WIB
Nabari Ginting, Sang Nakhoda di Tengah Badai
Foto: FB Nasrun Lubis
Nabari Ginting bersama sahabatnya, Nasrun Husin Lubis, dalam sebuah acara.

Saat ditunjuk menjadi Pejabat Bupati Nias Selatan, tahun 2005, Nabari Ginting yang saat itu menjadi Kepala Biro Pemerintahan di Sekretariat Daerah (Setda) Provinsi Sumut sudah menyadari tugas berat telah menantinya. Bagaimana tidak? Selain kondisi geografis yang sangat menantang, daerah itu baru saja dimekarkan setahun sebelumnya. Sudah pasti sangat banyak yang perlu dibenahi.

Siapa sangka, yang harus dihadapi oleh pria kelahiran Bahorok, 17 Januari 1952 itu ternyata bahkan lebih dahsyat lagi. Dia ditakdirkan menjadi nakhoda di tengah badai. Tepatnya pada 28 Maret 2005, Nias diguncang gempa hebat berkekuatan 8,2 pada skala Richter. Gempa bumi itu terjadi di perairan antara Pulau Nias, Sumatera Utara dan Pulau Simeuleu, Nanggroe Aceh Darussalam pada larut malam sekitar pukul 23.09 WIB saat masyarakat tengah beristirahat.

Gempa ini menyebabkan kepanikan luar biasa. Pemerintahan di Nias Selatan lumpuh total. Dengan semua keterbatasan dan permasalahan yang ada, Nabari Ginting dinilai berhasil memimpin kabupaten baru itu menghadapi berbagai tantangan. Dia dianugerahi gelar kehormatan, “Tuha Samuti Tano”, yang berarti Tuan Nakhoda Bumi. Warga Hibala bahkan menabalkan namanya menjadi nama sebuah pulau di sana.

Meniti karier dari bawah, mulai dari Kepala Kantor Kecamatan Simpang Empat, Tanah Karo, tidak lama setelah lulus dari APDN Medan, dia dipercaya mengemban berbagai tugas penting, baik di Kabupaten Karo maupun Provinsi Sumut, termasuk menjadi Kepala Dinas Sosial Sumut sejak tahun 2006. Di luar struktur pemerintahan, Nabari juga pernah menjadi Komisaris Utama PT KIM Medan, dan anggota BPA AJB Bumi Putra 1912. Selain menjadi nakhoda di Nias Selatan, Nabari juga pernah dipercaya menjadi Pejabat Wali Kota Pematangsiantar tahun 2005.

Bekerja sepenuh hati membuatnya memperoleh berbagai penghargaan, termasuk Camat Terbaik di Sumut Tahun 1985, diserahkan oleh Gubsu saat itu, Kaharuddin Nasution.

Setelah pensiun, Nabari banyak mencurahkan perhatian kepada perkembangan budaya, khususnya Karo. “Apakah sebuah peradaban dan kebudayaan akan berkembang atau justru menghilang, semua tergantung kepada kita sendiri. Budaya itu yang memberi kita identitas dan kebanggaan sebagai bagian dari khazanah budaya Nusantara yang sangat kaya,” katanya.

Penulis
: Redaksi
Editor
: Redaksi