Kulihat Mulai Ada Raut Cemas Pada Wajah Danau Toba

Oleh Toga Nainggolan
Redaksi - Kamis, 22 Desember 2022 15:46 WIB
Kulihat Mulai Ada Raut Cemas Pada Wajah Danau Toba
Foto: Arsip Kemenparekraf
Pemandangan Danau Toba

Pernahkah Anda merasa seperti kehilangan harapan dan antusiasme dalam hidup, menjadi kerakap di atas batu, kemudian seseorang datang mengubah segalanya, memberi Anda alasan untuk kembali bersinar dan berbinar?

Nah, bagaimana pula jika Anda menyadari semakin dekat waktunya melepas pergi seseorang yang memberi kesempatan kedua itu? Anda akan dikepung kecemasan yang tak bisa dibingkai dengan kata-kata.

Setelah masa keemasannya sampai pertengahan 90-an, Danau Toba dan kawasan di sekelilingnya seperti kehilangan ruh. Kemilau dan keanggunannya meredup dimangsa waktu. Kunjungan wisatawan mancanegara—yang dulu jadi pemandangan biasa—menjadi hal yang langka. Pelancong lokal yang berkunjung umumnya kapok, merasa tidak perlu repot-repot untuk melakukan kunjungan berikutnya. Kawasan Danau Toba yang dulu sejajar dengan Bali, makin jauh tercecer di belakang, seperti orang sepuh yang mulai kehabisan napas.

Pedihnya, hampir semua pihak hanya menonton runtuhnya kebanggaan yang dulu tinggi menjulang itu. Mereka yang mencoba bersuara, seperti lindap diserap dinding gua. Tidak ada pembenahan yang serius. Sumber daya manusia melemah, pelayanan pariwisata semakin tak acuh, kualitas lingkungan dan keanekaragaman hayati terus merosot, diversifikasi produk wisata dan fasilitas terkesan seperti asal ada. “Parsahalian” atau perilaku aji mumpung menjadi semacam dogma bagi para pedagang. “Kalau tak sekarang kalian kupatuk, kapan lagi?”

Danau Toba menangis. Tanpa suara. Ia memang masih indah dan memesona, tetapi hanya dalam lagu-lagu lama, yang kadang dinyanyikan tanpa getar rasa karena bahkan yang melantunkan syair-syair indah itu pun tahu betul bagaimana keadaan Danau Toba yang sebenarnya.

Kemudian datanglah pria kurus dari Solo itu. Bahu-bahu Danau Toba yang rebah dalam lelah, diguncang-guncangkannya. Semua tersentak. Samosir menggeliat, seperti orang yang baru bangkit dari tidur panjang dan lelap. Tiba-tiba ada pesta kemerdekaan Republik di Balige. Pecah!

Jalan bebas hambatan mendekati kawasan Toba dibangun. Simpang susun timpa-menimpa. Bandara Silangit yang biasanya sunyi diakrabi ilalang, kini riuh dengan deru pesawat komersial berbadan lebar. Orang kini tak perlu khawatir terjebak kemacetan di Balige karena sudah ada jalan bypass.

Seperti trik sulap, Pantai Bebas Parapat tiba-tiba menjadi spot foto yang tak boleh dilewatkan semua pelintas. Tidak tanggung-tanggung, di sana ada amphitheatre untuk pertunjukan seni budaya, dengan pemandangan ke Danau Toba, di atas lahan seluas kurang lebih 10.000 meter persegi.

Ada pula pembangunan tujuh pelabuhan penyeberangan untuk meningkatkan konektivitas antarwilayah di kawasan Danau Toba, dan ada enam lagi yang sedang dikerjakan. Tidak hanya pelabuhannya, disiapkan pula kapal-kapal modern dengan kapasitas angkut ratusan orang.

Kawasan Huta Siallagan dan Kampung Ulos Huta Raja dibangun ulang, dikembalikan ruhnya menjadi sentral kemegahan tradisi Batak.

Masih banyak lagi. Semua dilakukan dengan cepat, sat-set, sehingga bahkan mereka yang di sekitarnya saja bisa jadi kaget melihat perubahannya.

Mulak ma sinondang ni Tao Toba. Cahaya itu kini kembali kepada pemiliknya.

Akan tetapi, semua hal ada batasnya, setiap orang ada eranya. Konstitusi membatasi masa kepemimpinan kepala pemerintahan kita, bagaimanapun kita membutuhkannya untuk melanjutkan hal-hal baik yang dilakukannya.

Aku mulai bisa melihat raut cemas di wajah Danau Toba. Bagaimana nanti? Apakah ia masih akan ada di hati Sang Penerus? Atau apakah ia akan kembali meredup dan terbiarkan, dipaksa kembali tidur lagi? Apakah kemeriahan ini, layaknya pijar kembang api, hanya gemerlap sekejap untuk kemudian lindap dan lenyap?

Apakah Anda juga mulai bisa melihat kecemasan pada wajah Danau Toba itu?

Penulis
: Toga Nainggolan
Editor
: Redaksi