Tidak sekadar sukses sebagai salah satu pertemuan paling berpengaruh di dunia, KTT G20 di Bali juga telah menaikkan bahkan membentuk standar tersendiri. Para pemimpin negara-negara yang memiliki 80% dari produk dunia bruto (gross world product) itu dibuat merasa sedemikian nyaman sehingga mengeluarkan sisi “manusia biasa” mereka. Orang-orang paling berkuasa di dunia jadi terlihat seperti the guy next door atau tetangga sebelah rumah kita.
Lihat bagaimana asyiknya PM Kanada, Justin Trudeau dan PM Inggris yang baru saja menjabat, Rishi Sunak “nongkrong” di sebuah kafe di Nusa Dua, menggunakan meja kecil saja, layaknya pengunjung biasa. Yang membuat kesan “memasyarakat” semakin kuat, Trudeau tanpa melihat daftar menu yang disodorkan pramusaji, langsung menyebut “A Bintang”. Maksudnya adalah bir buatan Indonesia yang memang sangat populer itu. Sudah persis seperti akamsi (anak kampung sini), atau PS kalau dalam istilah orang Medan.
Rekannya juga terlihat layaknya pengunjung yang baru pertama kali mengunjungi sebuah tempat nongkrong, melihat daftar menu sejenak, sebelum kemudian mengikuti saran pamusaji untuk memesan Mango Spritz. PM pertama Inggris dari keturunan imigran India itu memang dikenal bukan penikmat minuman beralkohol.
Demikian pula Presiden Prancis, Emmanuel Macron, yang dengan santai memutuskan berjalan kaki sejauh 2 km usai jamuan makan malam (gala dinner). Dia menyapa warga dengan ramah, bahkan sempat menggendong seorang bayi. Macron tidak akan melakukannya jika dia tidak merasa nyaman dan percaya sepenuhnya bahwa dirinya aman.
Bali juga seperti menebarkan aura damai kepada dua pemimpin negara yang bisa disebut terkuat di dunia saat ini, Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, dan Presiden China, Xi Jinping. Di tengah dinamika hubungan yang tidak selalu mulus di antara kedua negara—bahkan cenderung memanas akhir-akhir ini—pertemuan mereka sangat jauh dari kesan kaku. Terlihat seperti pemimpin dua negara yang benar-benar bersahabat atau bahkan tergabung sebuah aliansi.
Memang benar, dalam tensi setinggi apa pun, para pemimpin harus tampil diplomatis, senyum dan berjabat tangan dengan erat. Akan tetapi, harus diakui cairnya pertemuan mereka di luar ekspektasi banyak pengamat.
Joe Biden sendiri mengatakan kepada Presiden Jokowi bahwa dirinya tidak berpikir akan pulang. Kelakar tentu saja, tetapi tetap memberi pesan yang jelas bahwa dirinya “having fun” di Bali.
Pada kesempatan lain kita juga menyaksikan momen yang demikian langka, ketika Xi Jinping bertemu secara impromptu atau dadakan dengan Justin Trudeau, karena mereka memang kebetulan saja berpapasan di arena utama KTT. Bak seorang abang yang lebih senior, dari gesturnya (dan kemudian suara penerjemah yang cukup jelas terdengar), Jinping tampak “menasihati” Trudeau yang jauh lebih muda. Dari “bocoran” yang beredar, Jinping disebut kurang bisa menerima pembicaraan level tinggi di antara kedua negara yang semestinya bersifat rahasia, bocor ke publik. Trudeau terdengar juga memberikan klarifikasi bahwa negaranya menganut asas keterbukaan. Sedapnya, di akhir pembicaraan “candid” itu, keduanya bersalaman erat.
Daftar ini bisa semakin panjang jika kita teruskan. Bagaimana para pemimpin dunia ngobrol santai, beberapa bahkan sembari berswafoto (selfie), dan hanya mengenakan busana kasual, di bawah pondok bambu pula. Begitu pula saat mereka dibawa Presiden Jokowi dalam sebuah “mangrove tour”, dan di sana mereka diajak menggunakan cangkul. Sebagian besar, jika tidak mau menyebut semuanya, bisa jadi mendapatkan pengalaman pertama mencangkul seumur hidup mereka.
Last but not least, megah dan spektakulernya sajian pertunjukan dalam acara gala dinner. Kita yakin, Presiden AS Joe Biden, sangat menyesal telah melewatkan acara itu. Para pemimpin dunia tertangkap kamera sangat menikmati seluruh rangkaian acara. Bisa jadi, dengan tugas dan tanggung jawab demikian besar, mereka tidak punya banyak kesempatan untuk secara “lepas” menikmati sebuah pertunjukan yang utuh dalam acara makan malam yang begitu menyenangkan.
Di balik suasana yang tampak megah, menyenangkan, dan kadang santai itu, kita tentu tidak bisa mengabaikan kerja keras banyak pihak. Angkat topi bagi TNI, Polri, aparatur pemerintah mulai dari pusat sampai Pemprov Bali, semua panitia sampai kepada para penari, yang seluruhnya bekerja segenap hati. Tidak semua dapat spotlight atau sorotan kamera. Ada pasukan TNI yang harus mengendap berhari-hari di rawa-rawa. Banyak pula pecalang, “polisi adat” Bali yang bekerja keras di berbagai tempat. Semua bekerja untuk satu hal: suksesnya gelaran G20 Indonesia di Pulau Dewata.
Lantas apakah semua “kesantaian” itu membuat agenda akbar ini tidak membuahkan hasil? Justru menjadi optimal. KTT menyepakati banyak hal dan menghasilkan deliverables yang nyata. Itu baru di agenda utama. Cairnya ketegangan AS dan China hanya salah satu contoh dari “hasil sampingan” yang luar biasa. Ada pula puluhan kesepakatan strategis di antara negara-negara peserta dan peninjau.
Indonesia dan Bali secara khusus, telah menunjukkan kepada dunia bahwa pertemuan para pemimpin, bahkan yang demikian penting sehingga akan menentukan jalannya sejarah dunia, tidak harus dibuat serba-serius dan kaku. Justru dalam suasana hati yang tenang dan rileks, mereka bisa membicarakan dan mengambil keputusan-keputusan terbaik dengan pertimbangan lebih komprehensif.
Orang tidak akan memutuskan pergi berperang jika dia merasa segala sesuatunya menyenangkan, kan? Bukankah dalam tingkatan yang lebih kecil, pribadi per pribadi, kita sendiri pun lebih bisa mengambil keputusan yang baik di saat hati dan pikiran merasa nyaman, diliputi sukacita? Bukankah dua orang yang tadinya sudah siap untuk berkelahi sampai mati, bisa akhirnya berdamai jika kita ajak ngobrol dalam suasana santai?
Saya kira tidaklah merupakan sebuah kebanggaan berlebihan jika kita sebutkan, Bali telah mengajarkan kepada dunia satu hal penting. Sekali lagi, segala hormat bagi semua yang telah bekerja keras, mulai dari Pak Jokowi yang seperti tak mengenal lelah sampai ke petugas keamanan yang siaga berjaga di segala arah.
Tepuk tangan dan hormat kami untuk Anda semua. (Toga Nainggolan)