Transformasi Pendidikan Nasional: Refleksi 1 Tahun Kepemimpinan Presiden Prabowo-Gibran

Penulis: Artinus
Redaksi - Rabu, 22 Oktober 2025 21:07 WIB
Transformasi Pendidikan Nasional: Refleksi 1 Tahun Kepemimpinan Presiden Prabowo-Gibran

Pendidikan dalam lintasan sejarah peradaban, telah menjadi pilar fundamental kemajuan suatu bangsa. Perjalanan sejarahnyanya dimulai dari model paideia Yunani yang menekankan kesempurnaan pada manusia, bergeser ke pendidikan skolastik Abad Pertengahan di benua biru (Eropa), hingga meledaknya Revolusi Industri yang menuntut literasi massal (1760). Bagi filsuf, Socrates dan Plato, pendidikan harus mengarah pada pembentukan manusia yang utuh yaitu rasional, bermoral dan mampu hidup dalam masyarakat demokratis (homo humanus).

Di Indonesia, negara kita tercinta semangat ini tercermin dalam filosofi Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara, dengan trilogi "ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani", bahwa pendidikan adalah “perbuatan luhur yang menegakkan martabat manusia”. Pemikiran ini beresonansi dengan gagasan seorang filsuf John Dewey (1859) yang memandang pendidikan sebagai proses kehidupan dan alat rekonstruksi sosial, bukan sekadar persiapan untuk hidup. Dalam konteks kawasan ASEAN, negara-negara seperti Singapura, Thailand dan Malaysia telah menunjukkan lompatan signifikan dengan mengadopsi model pendidikan berbasis keterampilan yang relate pada abad ke-21, sementara Indonesia terus berjuang menemukan formulasi terbaik kurikulum pendidikan kita baik pascakemerdekaan, reformasi hingga sampai hari ini.

Filosofi pendidikan mencerminkan, bahwa manusia bukan hanya objek pembelajaran, melainkan ia subjek perkembangan dan pembebasan, Paulo Freire (1970). Melaksanakan mandatori UUD 1945, pemerintah wajib mengalokasikan dana pendidikan sebesar 20% dari total APBN. Data Kementerian keuangan (Kemenkeu) menunjukkan, bahwa anggaran pendidikan dalam APBN tahun 2025 sebesar Rp. 724,3 triliun, mengalami kenaikan jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Pada realitasnya kualitas pendidikan Indonesia hingga akhir tahun 2024 masih menyisakan tantangan besar yang kompleks. Data Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2022 menempatkan Indonesia pada peringkat bawah dengan skor rata-rata Membaca (371), Matematika (366), dan Sains (383), jauh di bawah rata-rata negara OECD yang berada di atas 470-480.

Menurut data BPS (2024), komponen pendidikan dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM) mencapai 74,39, berada di angka 0,720, tertinggal dari Malaysia (0,810) dan Thailand (0,777). Proyeksi menuju Indonesia Emas 2045 memvisualisasikan lompatan paradigma di mana pendidikan diharapkan tidak hanya mengejar ketertinggalan kognitif, falitas sekolah, tetapi juga membangun sistem kurikulum yang menjawab kebutuhan zaman, penguatan karakter pelajar Pancasila dan kompetensi yang relevan dengan era disrupsi sosial, teknologi, menciptakan generasi yang literat digital dan kompetitif secara global.

“APA ITU SEKOLAH UMUM, SEKOLAH RAKYAT DAN SEKOLAH GARUDA?”

Dalam ekosistem pendidikan Indonesia hari ini ada 3 model pendidikan yang muncul, terminologi Sekolah Umum, Sekolah Rakyat dan Sekolah Garuda yang memiliki konteks dan orientasi kebijakan yang berbeda serta sasaran yang dicapai. Sekolah Umum merupakan satuan pendidikan formal yang diselenggarakan pemerintah atau swasta, mengikuti kurikulum nasional standar dan sarananya terbuka untuk umum, seperti SMA/SMK/STM, dibawah naungan Kemendikdasmen. Konsep Sekolah Rakyat yang diusung pemerintahan Prabowo-Gibran mengacu pada perluasan akses pendidikan berkualitas dengan biaya terjangkau (gratis), menargetkan keluarga dari strata ekonomi sulit (keluarga miskin) melalui subsidi penuh tujuannya adalah pemerataan kualitas pendidikan dibawah koordinasi Kemensos. Sementara itu, Sekolah Garuda adalah istilah untuk sekolah model atau unggulan yang menjadi percontohan, dilengkapi fasilitas memadai, tenaga pengajar berkomitmen tinggi dan kurikulum yang diperkaya dibawah naungan Kemendiktisaintek.

Terobosan kebijakan ini perlu diapresiasi, kendati demikian harus tetap di kawal oleh publik agar tepat sasaran dan berkelanjutan. Persamaan ke-3 ekosistem pendidikan tersebut terletak pada tujuan akhir yaitu mencerdaskan kehidupan anak bangsa, sedangkan perbedaan signifikan yaitu dalam hal sasaran peserta didik, orientasi, aksesibilitas dan intensitas kebijakan pemerintah.

"APA MANFAAT SEKOLAH RAKYAT DAN SEKOLAH GARUDA? "

Implementasi Sekolah Rakyat dan Sekolah Garuda berpotensi besar mendorong pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan, baik yang di daerah pelosok (Tertinggal, Terdepan dan Terluar/3T). Tujuan Sekolah Rakyat memastikan bahwa anak-anak di pelosok negeri tidak terhalang oleh kendala biaya (gratis), sementara penetapan Sekolah Garuda di wilayah 3T dapat berfungsi sebagai magnet dan pusat inovasi bagi sekolah-sekolah di sekitarnya. Strategi pemerintah mencakup pembangunan dan rehabilitasi infrastruktur sekolah, pengiriman guru melalui program Guru Garis Depan (GGD), serta pemanfaatan teknologi melalui pembelajaran daring terpadu untuk menjangkau daerah yang paling terpencil. Perlu diketahui juga, bahwa masih banyak sekolah-sekolah di daerah pelosok/3T fasilitasnya masih minim dan infrakstruktur yang belum memadai serta akses internet yang masih terbatas. Hambatan nyata pendidikan Indonesia dibagian daerah pelosok (3T) yaitu kualitas guru yang belum merata, sarana dan prasarana yang timpang serta disparitas antara wilayah pusat dan daerah pelosok (3T), serta keluhan para tenaga pengajar tentang masa depan dan kesejahteraan mereka.

Menyikapi masalah tersebut, langkah-langkah yang dilakukan oleh pemerintah adalah meliputi pembangunan fisik/revitalisasi sekolah, penyediaan tenaga guru yang berkualitas dan merata, menyediakan sarana dan prasarana pembelajaran digitalisasi pembelajaran serta mekanisme dana BOS yang fleksibel. Pesebaran jumlah sekolah yang merata di daerah pelosok negeri dapat memudahkan masyarakat dalam mengakses fasilitas pendidikan dan berdampak terhadap angka partisipasi sekolah (virdam dan Ariani,2023).

"REALITAS PENDIDIKAN KITA HARI INI"

Hambatan pendidikan Indonesia bersifat multidimensi dan sistemik. Selain disparitas kualitas, tantangan utama meliputi distribusi guru yang tidak merata. Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2023, menunjukkan rasio guru di daerah 3T, murid di Papua mencapai 1:45, Nias 1:35, sementara di DKI Jakarta hanya 1:15. Tantangan lain adalah rendahnya kualifikasi guru dan kesenjangan infrastruktur digital yang lebar antara wilayah maju dan tertinggal serta keterlibatan kemampuan ekonomi keluarga untuk menyekolahkan anaknya.

Refleksi satu tahun pemerintahan Prabowo-Gibran di sektor pendidikan ditandai dengan upaya agresif memperkuat program Sekolah Rakyat dan merevitalisasi konsep Sekolah Garuda, serta percepatan digitalisasi sekolah melalui distribusi perangkat teknologi dan pelatihan guru serta harus tetap memperhatikan daerah-daerah terpencil (3T) agar tidak luput dari perhatian pemerintah guna mewujudkan pemerataan kualitas pendidikan dari sabang sampai merauke.

Setiap kebijakan pendidikan harus berlandaskan teori yang kuat. Menurut Paulo Freire dalam "Pedagogy of the Oppressed", pendidikan bukanlah proses "penuangan" pengetahuan (banking concept of education), melainkan proses dialogis untuk membangun kesadaran kritis. Teori ini relevan dengan upaya membangun karakter pelajar Pancasila yang mandiri dan berpikir kritis. Sementara itu, laporan McKinsey (202) “how covid-19 coused a global learning crisis” menekankan bahwa system pendidikan yang unggul memiliki intervensi pusat (government-led) yang kemudain dikontekstualisasikan dengan akselerasi implementasi dan monitoring yang ketat.

Semangat pendidikan kita hari ini, masih relevan dengan pemikiran Ki Hajar Dewantara, seperti yang tertuang dalam jurnal "Tamansiswa" (1922), menekankan pendidikan yang memanusiakan manusia (humanis) dan berakar pada kebudayaan lokal. Fondasi filosofis ini tidak boleh diabaikan dalam setiap transformasi kebijakan pendidikan modern. Integrasi antara teori kritis ala Freire, tata kelola efektif ala McKinsey, dan nilai-nilai lokal ala Ki Hajar Dewantara dapat menjadi rumusan pendekatan yang holistik.

Setahun kepemimpinan pemerintahan Presiden Prabowo & Wakil Presiden Gibran di sektor pendidikan telah meletakkan sejumlah dasar kebijakan yang progresif, terutama dalam perluasan akses melalui Sekolah Rakyat dan penjaminan mutu lewat Sekolah Garuda. Komitmen anggaran 20% APBN juga patut diapresiasi. Namun, langkah ini merupakan awal dari sebuah perjalanan panjang 4 tahun kedepan.

Berdasarkan teori sistem dan tata kelola (Governance Theory), rekomendasi kebijakan kritis yang harus dijalankan adalah: (1).Memperkuat sistem rekrutmen dan distribusi guru dengan skema insentif yang menarik untuk daerah pelosok (3T). (2). Melakukan reformasi kurikulum yang lebih adaptif terhadap kebutuhan lokal, kebutuhan zaman dan kecepatan perubahan global, bukan sekadar perubahan administratif. (3). Membangun sistem evaluasi nasional yang independen dan berkelanjutan untuk memastikan akuntabilitas setiap program. (4). Evaluasi berbasis data real time. (5). Mengembangkan potensi guru seperti metode pembelajaran inovatif, kreaktif dan pemanfaatan penggunaan teknologi. (6). Meningkatkan keterlibatan orang tua serta memasifkan bantuan beasiswa bagi keluarga tidak mampu. (7). Membangun budaya sekolah yang positif dan (8). Meningkatkan kesejahteraan guru (honorer) seperti tunjangan berbasis kinerja/tunjangan daerah khusus dan reward bagi guru berprestasi.

Akhir kata, Pemerintah dalam 1 tahun ini telah meletakkan fondasi di sektor pendidikan, namun perjalanan masih panjang atensi di dunia pendidikan harus terus tingkatkan dan di evaluasi. Pemerintah tidak boleh terjebak pada pembangunan fisik dan output kuantitatif semata, tetapi fokus juga pada transformasi kultur pembelajaran yang memerdekakan, inklusif dan membangkitkan nalar kritis, sebagaimana diajarkan oleh Ki Hajar Dewantara dan Paulo Freire.

Dengan konsistensi, evaluasi berkelanjutan, inklusif dan pendekatan yang holistik, transformasi pendidikan nasional menuju Indonesia Emas 2045 bukanlah sebuah utopia, melainkan sebuah destinasi yang dapat digapai melalui semangat gotong royong mewujudkan ASTA CITA.

“Sekolah Berkualitas Untuk Semua”

Penulis
: Redaksi
Editor
: Redaksi