Pendidikan dan kebudayaan merupakan pokok yang terutama dan menjadi bagian yang melekat serta tidak terpisahkan di dalam sejarah dan perkembangan peradaban manusia. Hal ini dapat dimengerti di mana dalam kenyataannya setiap kelompok atau komunitas manusia memiliki kebudayaan. Kebudayaan itu sendiri adalah hasil olah pikir manusia atau masyarakat di dalam satu wilayah tertentu, yang berupaya disusun secara sistematis, terstruktur dan berkesinambung serta diwariskan dari generasi ke generasi. Hal itu berlangsung terus-menerus untuk waktu yang panjang sebagai satu proses internalisasi. Cara-cara budaya menolong manusia semakin memahami dirinya dan memberi pengetahuan tertentu tentang lingkungannya yang terus berkembang hingga membentuk satu tingkat peradaban tertentu.
Dengan kata lain pendidikan itu sendiri adalah kristalisasi dari cara pandang dan respons manusia atas lingkungannya. Itu sebabnya, pendidikan itu harus berlangsung sebagai pendidikan yang berkebudayaan. Dalam prakteknya, kondisi demikian dapat diamati dari sejarah kehidupan dan perkembangan masyarakat Indonesia yang terdiri dari banyak suku dan etnis, salah satunya adalah Batak. Adanya sistem pendidikan demikian berdampak langsung kepada kualitas hidup dan kesejahteraan, karisma dan martabat hidup bagi orang Batak sejak dahulu hingga sekarang. Itu sebabnya, gagasan tentang pendidikan yang berkebudayaan sebagaimana belakangan kembali digumuli sejumlah ahli, sebenarnya bukanlah gagasan yang baru.
Secara nasional, sejak awal kemerdekaan RI, Ki Hadjar Dewantara telah menggaungkan gagasan pendidikan budi pekerti. Gagasan yang sama juga menjadi substansi dasar sistem pendidikan masyarakat Batak, sebagaimana terekam dalam berbagai referensi yang berbicara tentang Batak. Model pendidikan informal yang berlangsung pada masa sebelum kekristenan di tanah Batak, maupun pendidikan formal yang hadir di era kekristenan di tanah Batak dan sesudahnya, di mana kebudayaan menjadi pintu masuk penginjilan dan semua itu ditujukan bagi pembentukan karakter unggul masyarakat Batak.
Namun demikian, untuk waktu yang panjang kekayaan kebudayaan itu sendiri terluput dari perhatian masyarakat dan pemerintah Indonesia. Ada alasan yang sangat substansial di mana hal itu dikaitkan dengan adanya waktu tertentu di masa lampau, terkait upaya-upaya penyebaran agama mainstream dunia di berbagai wilayah di Indonesia. Kemudian masyarakat yang tinggal di daerah-daerah itu pun berubah menjadi pemeluk agama baru itu, seperti Kristen Protestan, Katolik dan Islam. Itu sebabnya, untuk waktu yang lama berbagai kebudayaan, yang sebelumnya dianut sebagai bagian dari sistem kepercayaan, kemudian menjadi terabaikan.
Ide revolusi mental yang digaungkan oleh Ir. Joko Widodo sebagai salah satu materi utama ketika akan maju dalam pemilihan Presiden beberapa tahun yang lampau cukup menyentak banyak pihak akan pentingnya memberi perhatian yang besar terhadap pendidikan karakter. Lewat Dana Indonesiana yang diprogramkan oleh Pemerintah RI dengan budget dana yang besar tentu dimaksudkan sebagai satu upaya dalam rangka memberi motivasi dan dorongan yang kuat terhadap upaya-upaya pemeliharaan dan menghidupkan kembali kebudayaan-kebudayaan lokal agar tetap terpelihara dengan baik sebagai kekayaan bangsa Indonesia dirasa menjadi sangat berharga. Saat ini, penggunaan tehnologi digitalisasi sangat diharapkan dapat maksimal dalam upaya pemeliharaan sumber-sumber utama dari kekayaan kebudayaan itu.
Kebudayaan Batak itu dapat ditemukan tertuang dalam umpasa maupun umpama Batak, yang kesemuanya merekam gagasan-gagasan mendasar tentang nilai-nilai ideal, yang menunjuk pada etika moral Batak, habatahon (Batak’s moral ethic), yakni segala sesuatu yang berkaitan dengan Batak, dan yang dihidupi oleh etnis Batak. Adapun, gagasan-gagasan tentang moral itu telah diwariskan leluhur Batak dari generasi ke generasi sebagai bagian dari kebudayaan Batak. Merujuk pada kajian akademis dari beberapa ahli yang menggumuli ide-ide dasar (genuine) yang dimiliki Batak, dapat diketahui bahwa ternyata Batak memiliki pilar-pilar kebudayaan yang tingkat peradabannya sangat tinggi.
Misi kekristenan yang dilakukan oleh misionar Eropa juga menggunakan kebudayaan sebagai pintu masuk (entry point) untuk penginjilan. Secara tegas hal itu dapat diketahui di mana Ingwer Ludwiq Nommensen menerjemahkan Alkitab sebagai Kitab Suci dari bahasa aslinya ke dalam aksara Batak. Pemilihan dan penetapan cara kerja demikian dengan mudah dimengerti, mengingat pengalaman di berbagai wilayah di mana sesuatu yang baru itu, dapat dengan mudah dimengerti ketika ia disampaikan dalam bahasa lokal masyarakatnya. Cara ini dipandang efektif dan masih digunakan hingga sekarang, seperti sebagaimana dapat dinikmati banyak orang lewat tayangan film dalam berbagai bahasa lokal dan juga penerjemahan Alkitab dari bahasa aslinya ke dalam bahasa wilayah setempat, secara khusus bahasa lokal di nusantara ini.
Itu artinya, sejak awal para misionar telah lebih dahulu mempelajari bahasa Batak, baik aksara dan dialeknya sebagai modal awal untuk memasuki tanah Batak dan berinteraksi dengan penduduk Batak yang terkenal keras hati. Alhasil, sejak awal pendekatan kebudayaan lokal seperti ini menjadikan pengajaran tentang kekristenan mudah diterima oleh orang Batak. Sejumlah umpasa dan umpama sebagai bagian dari kekayaan dari tradisi habatahon, juga tidak luput dari perhatian para misionar.
Oleh karena itu, hasil dari tradisi maupun kebiasaan hidup orang Batak itu sepatutnya dihidupi dengan baik oleh masyarakatnya. Hal itu sangat penting untuk menjamin keberlangsungan hidup masyarakat Batak sebagai salah satu etnis bangsa, yang peran dan eksistensinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sama sekali tidak dapat diabaikan dalam sejarah pertumbuhan masyarakat Indonesia di NKRI ini.
Gagasan besar Batak, yang termanifestasi dalam alam berfikir dan rancang bangun teologi lokal Batak, telah melahirkan kepercayaan tentang Tuhan dan seluruh eksistensinya sebagai Pencipta langit, dunia dan alam lingkungannya sebagaimana hal itu tertuang dalam berbagai sastra keagamaan Batak, secara konkrit menegaskan spiritualitas, kualitas dan karakter unggul Batak.
Kesadaran dan kebeningan berfikir melahirkan kebesaran jiwa Batak yang sangat menghargai alam, di mana di tanah Batak, alam yang menawan dan anggun dipandang sebagai manifestasi keberadaan Tuhan yangpenuh kuasa mencipta dan memelihara. Itu sebabnya tanah patut diperlakukan secara adil dan bijaksana serta dijungjung dengan jiwa penuh tanggung jawab, agar tanah Batak sungguh-sungguh menjadi tanah Kanaan, tanah yang penuh dengan susu dan madu bagi bangsa Batak, dan bagi setiap orang yang mendiaminya. Itu sebabnya tidak heran jika ada beberapa pernyataan teologis Batak tentang bona pasogit dan bona ni pinasa
Beberapa hasil karya seni berupa: aksara Batak, ukiran motif gorga Batak, tenunan ulos dengan berbagai motif, berbagai hasil pahatan berbahan dasar kayu dan batu, dan lain sebagainya, juga sangat penting dijaga dan dipelihara Sejumlah tulisan kuno Batak yang terekam dalam buku laklak, memuat sejumlah pengetahuan dan filosofi kebudayaan tentang kepemimpinan Batak. Realitas ini dapat dicermati lewat kehadiran sejumlah tokoh dan pemimpin yang bertindak sebagai pengayom, panutan, berkarisma, marsahala di tengah-tengah gereja Batak, seperti Ephorus emerius Gereja Batak Justin Sihombing, yang karena pendidikan dan pengetahuan orangtuanya tentang kearifan lokal Batak, sebagai bagian dr budaya, lalu diperhitungkan di antara jajaran pemimpin di masyarakat Batak pada jamannya.
Ini menegaskan bahwa sejak awal pendidikan telah diterima sebagai satu jalan untuk memelihara cara budaya dan memelihara nilai-nilai moral dan etika yang dianut dan dijungung tinggi oleh orang Batak sebagai cara hidup (way of live). Gagasan-gagasan moral sebagai ekspresi kebudayaan itulah yang membuat setiap manusia, dan juga orang Batak tetap terdiri tegak.
Oleh karena itu, proses pendidikan harus benar-benar berlangsung sebagai pendidikan yang berkebudayaan. Cara-cara budaya itu perlu terus terpelihara dalam dalam kehidupan. Oleh karena itu, substansi dasar, arah dan tujuan pendidikan sepatutnya merujuk pada pendidikan yang berkebudayaan. Pertanyaannya bagaimana agar PIKI Pematang Siantar dapat membangun ruang untuk menyampaikan aspirasi-aspirasi penting ini, mengingat sejak lama Pematang Siantar telah dikenal sebagai kota Pendidikan. Dalam Kurikulum Pendidikan Nasional, ada satu nama muatan lokal, yang dapat diisi dengan pengetahuan tentang bahasa lokal, cerita rakyat, turiturian, aksara Batak dan lain sebagainya. Persoalannya hal itu belum berjalan dengan baik di tingkat implementasi. Di berbagai daerah lain, ada sekolah tertentu yang berupaya dipaksakan untuk menggunakan jilbab sebagai bagian dari seragam sekolah, ini cukup merisaukan. Beberapa waktu lalu, saya mulai membaca berita adanya upaya untuk mengembalikan seragam sekolah sebagai putih merah, putih biru dan putih abu-abu yang formatnya ditetapkan pemerintah. Beberapa waktu ada ada berita yang menyebut kota Pematang Siantar sebagai kota preman. Lalu 2-3 kemudian disebut lagi kota Pematang Siantar sebagai kota Pendidikan. Dengan kehardiran PIKI sebagai Gerakan Pemikiran di kota Pematangsiantar, tentu kita lebih sejahtera dan lebih bermartabat kalau kota Pematang Siantar tetap dipertahankan sebagai kota pendidikan, seperti sudah lama ditegakkan.
Bapak/Ibu/Sdr/I, semua ini terkait pendidikan dan kebudayaan yang harus berlangsung dengan baik. Satu cara yang kami coba uakan lewat lembaga yang saya tangani lewat L-SAPIKA INDONESIA (Lembaga Studi aAgama dan Pendidikan Karakter Indonesia), adalah melakukan pendidikan karakter lewat TK/PAUD dan Rumh Belajar. Banyak hal yang bisa kita lakukan, saya mengundang kita semua sebagai PIKI untuk bisa duduk bersama membicarakan ini melalui sebuah seminar dan diskusi.
Demikian saya sampaikan. Terima kasih, Horas, … horas, … horas ..