Idul Fitri, Keberagaman, dan Nasionalisme Dalam Pandangan Senior GMKI

Oleh: Jadi Pane, S.Pd, MM (Senior GMKI Medan)
Redaksi - Rabu, 10 April 2024 12:17 WIB
Idul Fitri, Keberagaman, dan Nasionalisme  Dalam Pandangan Senior GMKI
Redaksi
Jadi Pane, SPd, MM

Adapun yang menjadi Visi Organisasi GMKI adalah adalah terwujudnya kedamaian, kesejahteraan, keadilan, kebenaran, keutuhan ciptaan dan demokrasi di Indonesia berdasarkan kasih. Ditengah visi GMKI yang sangat agung dan hebat ini, realitas sosial yang kita hadapi adalah bahwa kita hidup dalam keberagaman, kebhinnekaan. Bagaimana mengelola keberagaman dan kebhinnekaan ini adalah tentu tanggung jawab sosial yang harus kita lakukan sebagai visi bersama lintas agama dan lintas suku. Tentu GMKI hadir untuk mewujudkan harmoni sosial dan mendorong terwujudnya pembangunan bangsa yang cepat berdasarkan UUD 1945 dan Ideologi Pancasila. Dalam hal inilah sumbangan kritis GMKI sebagai organisasi yang punya akar sejarah perjuangan dan pergerakan di negara ini harus mampu mendorong penguatan kebhinnekaan sebagai realitas sosial yang harus dirajut untuk keutuhan NKRI yang kita cintai ini.

Tulisan ini adalah sambutan dari saya secara pribadi sebagai salah satu senior GMKI di Sumatera Utara terhadap saudara kami yang sedang merayakan Idul Fitri 1445 H sebagai hari spesial bagi saudara kami yang beragama Islam. Pertama sekali saya ucapkan selamat merayakan Idul Fitri bagi saudara kami yang beragama muslim. Bagi kita yang berbeda agama, setelah saudara kami berpuasa harus bisa menjadi momentum menciptakan kerukunan di Sumatera Utara dengan cara menghormati dan menghargai saudara kita muslim yang sedang merayakan Idul Fitri setelah berpuasa lebih kurang satu bulan. Kerukunan adalah harga mati di negara yang plural ini. Apalagi dalam konteks Sumut yang berbeda berbagai latar belakang memperdebatkannya bukan jamannya lagi dan bagaimana menjaga kerukunan adalah tugas bersama dalam melangsungkan kehidupan yang lebih beradab.

Ditengah persoalan kebangsaan kita, khususnya dalam konteks pembangunan Sumatera Utara, masalah kemiskinan, masalah korupsi, masalah pengangguran, dan berbagai persoalan lainnya sangat kuat untuk dihancurkan. Problema korupsi misalnya sudah sangat menghambat kemajuan bangsa kita. Padahal, dengan konsep puasa sebagai keagungan nilai Keislaman tidak memberikan ruang sedikitpun pada korupsi. Bahkan semua agama yang diakui oleh negara ini mengajarkan agar perbuatan korupsi itu dihindari karena merusak tatanan bangsa yang beradab.

Agama adalah benteng moral yang bisa menjadi ruang spirit membangun perilaku yang benar. Nilai kegamanaan adalah ajaran yang sangat sederhana, dimana ditekankan untuk jujur, bekerja keras, transparan, peduli sesama. Nilai-nilai inilah yang sebenarnya mendukung hukum positif agar bangsa ini menajdi bangsa yang besar di dunia. Kita punya modal dasar menjadi bangsa yang besar karena kita punya nilai agama, nilai budaya, dan nilai ideologi Pancasila dan UUD 1945.

Sekedar menyegarkan ingatan kita, sejarah mencatat, tercapainya kemerdekaan Indonesia dari penjajahan bangsa asing tidak lepas dari peran dan pengaruh tokoh-tokoh agama, yang aktif berjuang secara fisik, moral, dan spiritual dalam mendukung perjuangan bangsa. Mereka berjuang melalui peran keteladanan, panutan, maupun kepemimpinan di berbagai sektor kehidupan masyarakat.

Dalam perjalanan mempertahankan kemerdekaan dari agresi militer Belanda, peranan organisasi-organisasi keagamaan di seluruh penjuru negeri juga sangat signifikan. Bahkan, peranan itu terus berlanjut pada era pembangunan yang lalu, seperti Pembangunan Kependudukan dan Keluarga Berencana. Tokoh agama pula yang menjadi garda terdepan, sehingga Indonesia mendapat penghargaan dari lembaga-lembaga internasional.

Seiring dengan terus bertambahnya usia republik ini dan munculnya sejumlah masalah yang terkait dengan isu-isu sensitif, termasuk agama di berbagai daerah, perlu rasanya kita berkilas balik, belajar dari pengalaman dan kejadian silam, untuk kemudian menatap masa depan bangsa dan berusaha mencapainya secara bersama-sama.

Sejak merengkuh kemerdekaan 79 tahun silam, banyak keberhasilan yang telah dicapai bangsa Indonesia. Namun juga banyak kekurangan yang masih harus diperbaiki. Indonesia belum pulih dari berbagai krisis, sehingga kita perlu lebih menyatukan langkah ke depan agar lebih mampu mengatasi berbagai masalah sekaligus mampu mendatangkan kesejahteraan, kemajuan, dan kejayaan bersama.

Krisis ekonomi yang terjadi beberapa tahun lalu tidak hanya berdampak buruk terhadap bidang ekonomi, tetapi juga merembet ke sektor-sektor kehidupan lainnya, misalnya politik, sosial, dan budaya. Benturan-benturan di berbagai sektor kehidupan itu sering kali menyeret kita untuk saling berhadap- hadapan sesama anak bangsa.

Sebagai bangsa, rakyat Indonesia harus mempunyai keyakinan yang kuat bahwa bangsa ini dapat keluar dari krisis serta dapat meraih kemajuan dan kesejahteraan sebagaimana yang dicapai negara- negara maju. Ini bisa dicapai mengingat potensi kita yang besar, baik dari sudut sumber daya manusia (SDM) maupun sumber daya alam (SDA). Toh, potensi yang besar itu tidak serta merta mendatangkan manfaat yang besar jika kita tidak mempunyai visi dan pandangan yang sama serta kemauan bekerja sama secara sungguh-sungguh untuk mengatasi berbagai kekurangan.

Makin Kompleks

Dewasa ini, tantangan masyarakat dan bangsa semakin kompleks, terutama karena kita sedang menghadapi era globalisasi yang ditandai perkembangan teknologi informasi dan transportasi sangat pesat.

Era globalisasi yang melanda hampir seluruh segi kehidupan manusia telah membuat orang menjadi lebih individualistis. Kegotongroyongan yang selama ini menjadi ciri bangsa Indonesia, mulai terkikis. Jelas, kondisi ini dapat mereduksi peran-peran lembaga agama secara sangat signifikan. Melemahnya perekat-perekat sosial dan merebaknya individualisme mustahil dapat dijadikan dasar pijakan bagi perkembangan dan kesejahteraan masyarakat ke arah yang lebih baik.

Tantangan yang muncul itu hanya bisa diatasi jika kita mampu membangun kepedulian dan kebersamaan tanpa memandang perbedaan keyakinan dan latar belakang agama demi kepentingan bangsa yang lebih besar. Sebagai bangsa yang masyarakatnya plural, Indonesia tak bisa lepas dari berbagai persoalan yang timbul. Faktanya, hingga kini, bangsa Indonesia masih dihadapkan pada berbagai persoalan, baik yang berskala lokal kedaerahan, nasional, regional, maupun inter-nasional.

Persoalan tersebut tidak terlepas dari perkembangan dinamika kehidupan global yang secara langsung maupun tidak langsung mewarnai serta mengubah sikap dan perilaku kehidupan masyarakat. Kebebasan, sebuah tuntutan yang terus mencuat di masyarakat saat ini, menjadi momok menakutkan manakala muncul tanpa batas. Dekadensi moral muncul ke permukaan bersamaan dengan berbagai persoalan menyangkut aspek ekonomi, politik, hukum, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan, serta hak asasi manusia. Persoalan tersebut muncul dalam spektrum beragam dan kait-mengait. Tidak jarang berbagai persoalan itu dikaitkan dengan kehidupan beragama, sehingga memunculkan persoalan hubungan antarumat beragama yang sering jauh lebih rumit dan kompleks.

Kini semua saudara kita yang beragama Islam sudah selesai menjalankan ibadah puasa selama satu bulan. Saudara kita yang beragama Islam sedang merayakan hari raya Idul Fitri 1445 H sebagai hari bersar keagamaan bagi saudara kita ini. Semoga Idul Fitri menjadi momentum pemanfaatan nilai kemanusiaan. Kita harus kembali kepada nilai kemanusiaan untuk membangun bangsa ini. Ziarah kemanusiaan adalah solusi agar bangsa ini untuk bangkit. Apa sebab? Puasa sudah mengajarkan semua kita, bukan hanya umat Islam untuk menahan hawa nasfu, pikiran picik, tamak, dan mengajarkan untuk hidup sederhana. Sekali lagi, selamat merayakan hari Idul Fitri1445 bagi saudara kami.

Penulis adalah: Senior GMKI Medan

Penulis
: Redaksi
Editor
: Redaksi