Pengantar
Puji dan syukur kepada Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus. Kehadiran kita sebagai Gereja di dunia ini ada dalam tuntunan kasih-Nya yang tak berhenti memperlengkapi kita, baik sebagai pribadi dan institusi untuk menjadi saksi-saksi kebenaran Allah Tritunggal, sehingga hidup dan perilaku setiap pengikut Yesus harus seturut dengan kehendak-Nya. Dan pada saat ini di dalam perjumpaan kita bersama pada rapat-rapat pendeta distrik HKBP yang sudah dimulai, Tuhan mengajak kita untuk hidup berbagi kebaikan Allah di dalam persekutuan kita bersama sebagai gembala-gembala Allah yang diperkenankan-Nya melayani kawanan domba Allah / jemaat Tuhan, juga melayani di lembaga-lembaga/badan-badan dalam lingkungan pelayanan HKBP. Gaung dari tema dan sub tema Rapat Pendeta HKBP kali ini, menurut saya seakan ingin menguatkan kembali komitmen kita bersama, agar berjuang dalam satu derap langkah pelayanan di dalam terang bimbingan Roh Kudus untuk melakukan kebaikan Allah dalam seluruh perjumpaan kita, apakah di tengah-tengah gereja ( dengan seluruh aras pelayanan, dari sekolah minggu hinga orang dewasa serta penjangkauan kepada jemaat lainnya. atau dalam proses interaksi kita dengan masyarakat secara luas. Perjumpaan yang terjadi didorong dan diteguhkan oleh kasih Allah yang maha murah serta rahmani. Kasih itulah yang dapat menyatukan manusia dalam suatu Gerakan aksi bersama, mewujudkan persaudaraan sejati dalam kasih Allah, yang maha baik.
Menghadirkan suatu kebaikan adalah sebuah ikhtiar hidup yang wajib diperjuangkan secara terus-menerus oleh seluruh umat manusia-semua pendeta sebagai conditio sina qua non. Tugas bersama ini perlu disuarakan berulang-ulang, utamanya dilakukan bersama-sama, agar setiap insan pendeta terpanggil dan bergandengan tangan menghadirkan kebaikan Allah dalam membangun kehidupan serta peradaban bersama yang semakin baik, maju dan berkembang dengan penuh damai dan sukacita. Karena itu, setiap orang, tanpa terkecuali memiliki tugas dan tanggungjawab yang sama agar bersungguh-sungguh menghadirkan kebaikan Allah bagi seluruh umat manusia, sebab hal itu adalah perintah Tuhan, agar manusia saling mengasihi, dan tentu saja akan semakin menjauhkan kita dari segala bentuk permusuhan, lalu tanpa jeda kemudian menghadirkan kebaikan Allah dalam semangat : cinta kasih, perdamaian, persaudaraan, toleransi, serta penghormatan terhadap sesama manusia. Mungkin seruan Pemazmur menjadi suatu permenungan yang perlu diperhatikan : “sungguh, alangkah baiknya dan indahnya, apabila saudara-saudara diam bersama dengan rukun” ( Mazmur 133:1 ).
Memang secara jujur kita harus akui, bahwa perjuangan menghadirkan kebaikan Allah bukanlah suatu jalan yang mudah seperti saat kita akan membalikkan tangan. Banyak pengorbanan dan tenaga yang tercurah untuk menghadirkan kebaikan itu, bahkan Kristus sendiri rela mati di kayu Salib, mengorbakan hidup-Nya demi sebuah kebaikan/keselamatan bagi umat manusia. Dalam catatan sejarah dunia, awan gelap dan kelabu mengisi/menorehkan berbagai peristiwa dunia yang mencabik-cabik dan megoyak-oyak kemanusian, dengan berbagai kasus yang terjadi, seperti : pembersihan etnis, Genosida, perang juga persekusi agama yang sangat memilukan. Bumi tempat kita berdiam meninggalkan sejarah kekejian yang menimpa kehidupan masyakarat dan dunia ini. Ada berbagai faktor atau latarbelakang yang memicu, mendorong dan memacu terjadinya : kekerasan, peperangan yang keji, konflik etnis/suku, kejahatan-kejahatan yang meluas secara canggih, bahkan hari-hari ini menggunakan tehnologi tinggi, yang telah turut menambah penderitaan kita bersama. Padahal, sejatinya, kebaikan-kebaikan dalam kehidupan bersama, telah dengan susah payah dibangun dan dirawat serta dijaga dalam suatu keyakinan kuat serta mimpi bersama, betapa indahnya kebaikan itu mengkonstruksi serta menginternalisasikan berbagai pedoman hidup atau nilai-nilai kebaikan oleh kelompok masyarakat, Gereja dan institusi agama lainnya sejak dahulu hingga kini, namun sayang sekali acap kali dirusak, dihancurkan oleh ego manusia ( baca : pemeluk agama ) yang tak dapat dikendalikan dng baik.
Sementara itu, dalam perjalanan HKBP sebagai gereja, tidak jarang perjuangan menghadirkan kebaikan Allah juga menghadapi jalan yang sangat terjal, hal itu dapat dibuktikan dengan tidak sedikitnya catatan-catatan ‘buruk’ tentang terjadinya berbagai perselisihan/ketegangan bahkan konflik di dalam tubuh gereja yang terliput dalam catatan perjalanan sejarah HKBP. Dengan perkataan lain, iklim kehidupan menggereja kita, masih memerlukan adanya langkah-langkah pembenahan yang sungguh-sungguh untuk merespon sikap dingin, cuek, pesimis serta sikap skeptik dari kalangan pengerja dan warga jemaat HKBP terkait perbaikan/pemulihan keadaan, hal itu ditengarai kemungkinan sekali sangat dipengaruhi semakin meluasnya budaya : negativisme, sinisme, bullyisme, hal-hal yang tidak baik dan lazim memasuki panggung kehidupan gereja, sehingga , yang buruk dan bertentangan dengan inti panggilan Gereja, justru lebih memengaruhi dinamika kehidupan gereja. Tak terkecuali, kebaikan Allah justru “lebih sulit’ dihadirkan dalam setiap periodisasi kepemimpinan gereja kita, sebab keadaan yang lebih terlihat adalah ‘suasana’ yang kurang kondusif. Mudah2 an hal-hal semacam itu dapat kita perbaiki di masa depan karena kebaikan Allah yang dihadirkan.
Memahami teks Matius 5:45
Matius 5:45 ini adalah bagian dari khotbah di bukit. Secara keseluruhan khotbah di bukit memberi pengaruh yang besar dan penting dalam kehidupan umat Kristiani karena berisikan ajaran-ajaran Kristus yang sangat fundasional, yang berisikan dasar pijakan dalam kehidupan dan tindakan sehari-hari sebagai anak-anak warga kerajaan sorga[1]. Bagian yang terdapat dalam Matius 5-7, diantaranya adalah : ucapan-ucapan bahagia, garam dan terang dunia, hal berdoa, hal mengumpulkan harta, hal kekuatiran dan jalan yang benar dan terutama mengasihi musuh. Beberapa hal di atas adalah contoh yang sangat penting untuk dihidupi dalam rangka pembaruan diri, agar kita hidup menjadi anak-anak Tuhan dalam melakukan kebaikan Tuhan di dalam segenap aspek kehidupan kita. Dan kualitas hidup kita sebagai murid-murid Tuhan Yesus ( baca : Pendeta ) justru dihadirkan dalam relasi kita dengan setiap orang, dimana kita berelasi dengan mereka tanpa membeda-bedakan, membuat suatu batas-batas yang menghambat relasi kita dengan setiap orang. Demikianlah kita sempurna di dalam kasih Allah itu, manakala kita mampu mengasihi musuh dan berdoa untuk mereka. “Karena itu, selama masih ada kesempatan bagi kita, marilah kita berbuat baik kepada semua orang” ( Galatia 6:10 ). Ayat 45 ini tidak dapat dilepas dari ayat 43-44 serta ayat 46-48. Yang pada intinya menyerukan untuk mengasihi semua orang, bahkan musuh-musuh. Kabaikan ( Yun. Agathos : yang baik, kebaikan, berarti baik secara intrinsik, baik secara inheren dalam kualitas, yang menguntungkan, berguna, bermanfaat bagi orang lain, kebaikan dan perbuatan baiknya dibagikan kepada orang lain ) Allah yang tanpa batas, yang memberikan matahari terbit dan hujan turun kepada semua orang adalah menunjukkan bahwa matahari dan hujan adalah milik Tuhan. Dan kebaikan Allah harus dihadirkan bagi siapapun juga, tanpa melihat latarbelakang mereka, tanpa kategorisasi, tanpa cap yang justru akan menghambat kita melakukan kebaikan Allah kepada mereka. Padahal menurut sudut pandang Allah semua orang sama, Allah bahkan tidak memihak, malah Dia memberi ‘matahari yang bersinar dan hujan yang turun bagi seluruh orang’ tak dibatasi pada orang baik dan benar saja, juga kepada orang yang jahat dan tidak benar. Kasih Tuhan tidak membeda-bedakan. Juga tidak selektif. Matahari dan hujan mewakili semua berkat yang datang kepada manusia dari tangan Tuhan. Tetapi Tuhan tidak mengirimkan cuaca mendung kepada orang yang tidak adil dan menyebabkan matahari menyinari tetangganya yang adil. Tuhan tidak menurunkan hujan ke ladang satu orang dan menolaknya ke ladang sebelah karena orang itu tidak adil. Ketika Tuhan mengirimkan berkat-berkat-Nya, itu dilimpahkan ke seluruh bumi, baik manusia yang adil maupun yang tidak adil. Seperti itulah sifat kasih Tuhan. Ketika Allah pada akhirnya memberikan berkat keselamatan bagi orang berdosa, itu disediakan untuk semua orang, karena Yesus Kristus menjadi, “pendamaian untuk dosa kita, dan bukan untuk dosa kita saja [yang percaya], tetapi juga untuk dosa seluruh dunia (1 Yoh 2:2).
Pendeta membarui diri dan membangun sikap profesionsal
Pendeta harus terus membenahi dirinya dengan baik dan bersungguh-sungguh. Apakah dalam membangun kualitas diri dalam pelayanan : memimpin, berkhotbah, konseling, berkomunikasi dan berelasi yang baik dengan seluruh ‘konstituen’ yang dilayani. Tak terkecuali membangun kepemimpinan roh kepemimpinan lintas iman ( crossover ) hingga mampu membangun persahabatan dengan seluruh komunitas masyarakat sekitar, tanpa memandang muka, tanpa kategorisasi. Selain itu juga, yang tap kalah penting, namun sangat perlu dan mendesak diperhatikan adalah pembenahi diri pribadi kita, apakah secara spiritual, sosial dan personal/pribadi, bagaimana kita mampu melihat diri kita selama ini dalam relasi personal kita dengan Tuhan, keluarga, dengan teman pendeta ( dan partohonan lainnya ) sesama dan jemaat serta masyarakat sekitar kita. Adakah yang terganggu ? Adakah yang tidak lancar ? atau adakah yang tidak beres ?
Inilah yang terus didorong dalam orientasi pelayanan professional dalam penatalayanan. Sikap professional semacam ini secara sederhana dapat diartikan adalah sikap belajar yang baik untuk mengetahui apa yang harus kita kerjakan, serta memakai ukuran-ukuran yang jelas untuk mengetahui apakah yang kita kerjakan berhasil atau tidak. Sikap professional semacam itu akan menjauhkan kita dari pandangan picik, subjektif dan idiologis, sehingga kita mampu mengerjakan pekerjaan dengan benar dan baik. Jauh dari orientasi diskriminatif dan rasis, jauh dari kelompoknisasi, yang sangat subur dan dinikmati karena kasih direduksi atau levelnya dibatasi tembok-tembok kepentingan, bukan orientasi pelayanan menyeluruh bagi pembangunan tubuh Kristus.
Sebagai pendeta, dengan tugas-tugas pelayanan yang semakin kompleks dan dinamis sejalan dengan perkembangan-perkembangan baru dalam kehidupan jemaat dan masyarakat kita, kemudian akan membawa impak baru dalam sikap dan pola pikir warga jemaat kita. Maka, dalam kehidupan sehari-hari, utamanya dalam kehidupan pelayanan kita apakah di daerah urban kota juga rural area ( desa ), semakin tidak terhindarkan bagaimana warga jemaat kita memiliki pertumbuhan kesadaran diri yang kritis, sehingga tak segan/enggan menyampaikan secara langsung, apakah pendapat, usulan bahkan kritik yang pedas dan bahkan kadang bisa menyakitkan. Di masa lalu, hal-hal semacam itu dihindari, karena dianggap tidak baik, tidak pantas, enggan dilontarkan, bahkan pantang. Maka warga jemaat atau parhalado mengambil pilihan dengan menahan diri dan menyimpan di dalam hati, karena itu diyakini sebagai jalur pilihan yang paling tepat. Namun, tumpukan rasa kesal dan kecewa dapat berakumulasi pada ledakan kemarahan yang tak terkendali. Di beberapa jemaat, kita dapat melihat terjadinya ‘clash’ yang tak dapat dihindarkan lagi. Untuk itulah, para pendeta harus terus meningkatkan kesadaran diri agar semakin dewasa dan professional dalam melaksanakan tugas-tugas pelayanan, bahkan memiliki suatu goal yang jelas agar warga jemaat di semua aras pelayanan dapat melihat kebaikan Allah melalui partisipasi atau kepedulian mereka dalam membangun pelayanan bersama. Pendeta dituntut saat ini agar lebih mampu memahami tugas-tugas pelayanan dengan benar dan tepat, lalu berdasarkan itulah dilihat ukuran-ukuran yang jelas dalam melaksanakan tugas-tugas pelayanan secara menyeluruh. Memang selalu ada kelemahan yang acap berulang terjadi dalam pengalaman para pendeta di tengah-tengah jemaat, akibat kurang memahami sejumlah perangkat instrument kelembagaan kita dengan baik, sebut saja : AP, Konfesi, RPP, Agenda, dll. Pada satu kali terjadi perdebatan atas suatu persoalan yang terjadi, pertanyaan-pertanyaan dihujankan secara bertubi-tubi kepada pendeta. Akibat kurang mampu menjawab pertanyaan tersebut atau kurang arif menempatkan diri dalam debat itu, maka pendeta mencoba untuk membentengi diri ( self-defense ) dengan sikap emosional dan memakai pendekatan kekuasaan yang sesungguhnya tidak produktif/bermamfaat. Akhirnya pertengkaran tak dapat dihindari. Relasi kemudian terganggu, demikian juga pelayanan menjadi tidak berjalan lagi secara efektif. Kurangnya pemahaman terhadap dan leadership sering kali menjadi salah satu titik lemah dalam kepemimpinan di tengah-tengah jemaat. Padahal, semestinya dengan sikap budaya berkomunkasi yang baik/trampil serta professional, yaitu : memahami tugas dengan benar dan baik, hal-hal semacam itu tidak perlu terjadi, sebab sudah ada ukuran-ukuran yang jelas yang bisa dipedomani serta diterapkan dalam ruang bersama berorganisasi. Ruang dan wadah yang tepat mestinya dapat diberdayakan secara optimal untuk mencegah terjadi konflik pribadi. Lebih daripada itu, dinamika, potensi dan modal yang ada dalam jemaat, dalam bentuk apapun itu, semestinya dapat dikelola dengan baik dalam pelaksanaan dalam mendorong optimalisasi tugas-tugas pelayanan atau pembangunan jemaat. Mungkin, ada baiknya kita dengar bisikan kecil gereja tetangga, yang mengatakan : HKBP sudah mapan dan on the track semua, tinggal manejemen pelayanan yang baik. Sebab semua sudah ada, bahkan lengkap, mereka tak perlu mencari segmentasi pasar dan mencari anggota. Semua sudah tinggal jadi. Tapi menurut saya, justru tantangannya di sana, bagaimana pendeta HKBP lebih bersungguh-sungguh dalam membarui diri dan membangun sikap professional dalam menjalankan tugas-tugas pelayanan secara optimal, apalagi di tengah-tengah kondisi membaiknya sistim parbalanjoan para pelayan. Suatu peluang atau ancaman ? Menurut saya, sistim itu adalah peluang besar meningkatkan pelayanan kita ke depan, apabila dikelola dan dimantapkan dengan bermutu tinggi secara bersama-sama oleh seluruh pendeta bersama-sama dengan warga jemaat.
Komitmen dan integritas
Dalam periode kali ini, pimpinan HKBP masa waktu 2020-2024 sudah menetapkan empat agenda tahunan atau orientasi pelayanan, yakni : Tahun pemberdayaan, Tahun Kesehatian, Tahun Profsionalisme dalam penatalayanan, dan akan ditutup dengan Tahun oikumene inklusif. Masing-masing tahun pelayanan itu memiliki keterkaitan dan keberlanjutan serta penekanan-penekanan khusus, yakni : dalam rangka menuju visi HKBP menjadi berkat bagi sesama manusia/sekitar. Tentu saja, pimpinan gereja kita mempersiapkan agenda tahunan itu untuk memperlengkapi seluruh pelayanan HKBP bersama anggota jemaat, agar memiliki pandangan dan orientasi yang sama dalam melaksanakan tugas pokok gereja sebagai saksi-saksi Kristus. Untuk mencapai sasaran tersebut, dibutuhkan karakter yang kuat, supaya memiliki daya tahan, tenaga dan kekuatan leadership yang baik dan bermutu. Agar lebih optimal/lengkap dalam menghadapi tantangan zaman-roh-roh zaman yang sangat berat dan mengancam kekehidupan Kristiani kita. Dan menurut saya, karakter Kristus lah yang akan memperlengkapi kita, yaitu : karakter mengasihi, karakter mengampuni, karakter yang sabar/taat sampai mati dan karakter rela berkorban ( solider ).
Pertanyaan yang sering mengemuka sekarang ini justru amat memilukan hati, yaitu apakah pendeta HKBP masih memiliki karakter ? Pertanyaan ini, tentu saja akan mendapat reaksi yang keras dari para kalangan pendeta HKBP. Hampir semua akan marah, sebab pertanyaan itu dianggap sinis dan menghakimi. Kita sangat memahami pertanyaan dituduhkan itu serta reaksi kalangan pendeta. Karena itu, sebaiknya mari kita menanggapinya dengan objektif, setidaknya berusaha sedapat mungkin untuk tidak langsung berpihak dan menyalahkan siapapun. Namun, pertanyaan itu justru akan dapat melahirkan dua hal penting dalam merespon pertanyaan dan reaksi yang datang.
Pertama terkait dengan komitmen. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), komitmen adalah tindakan untuk melakukan sesuatu. Dengan kata lain, komitmen merupakan bentuk dedikasi atau kewajiban yang mengikat kepada orang lain, hal tertentu, atau tindakan tertentu. Komitmen adalah suatu sikap yang menunjukkan sejauh mana seseorang mengetahui, mengenal, serta mau terikat terhadap organisasinya. Tentu komitmen kita pertama adalah kepada Tuhan. Secara cukup eksplisit komitmen kita itu dirumuskan dengan baik dalam “poda Tohonan hapanditaon”. Apakah itu masih dihidupi dengan baik ? Jawaban atas pertanyaan itu, tentulah boleh kita respon di dalam hati kita masing-masing. Lalu, apakah kita masih menghormati komitmen kepada Tuhan, atau lebih kuat berkomitmen kepada manusia, oleh suatu janji atau kepentingan tertentu semata-mata. Ini juga berpulang kepada kita masing-masing. Kepada siapa komitmen kita lebih tinggi ?
Kedua, integritas adalah kata yang berasal dari bahasa latin yaitu, “integer” yang artinya utuh dan lengkap. Integritas adalah sifat atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan dan kejujuran. Integritas merupakan gambaran diri kita dalam suatu organisasi yang terlihat dari perilaku dan tindakan sehari-hari. Seseorang yang benar memiliki sebuah intergitas adalah mereka yang dapat diberi kepercayaan lebih. Hal ini didasarkan pada kesesuaian antara perilaku dan ucapannya. Integritas mencerminkan seseorang dengan suatu ciri yang transparan, bertanggungjawab, dan objektif. Beberapa ciri-ciri integritas itu adalah sbb : bersikap jujur tulus dan dapat dipercaya, bertindak transparan dan konsisten, menjaga martabat dan tidak melakukan perbuatan tercela, bertanggung jawab atas hasil kerja, bersikap objektif
Jadi, integritas para Pendeta diharapkan lebih mendengar perintah Tuhan daripada manusia atau hidup benar di hadapan Tuhan, serta mengasihi musuh. Itulah hendaknya menjadi sifat dan karakter kita dalam menjalankan tugas dan panggilan pelayanan. Sehingga segala kebaikan Allah dapat dihadirkan dalam pelayanan di segala aras, dari anak-anak hingga kelompok lanjut usia. Tidak ada kategorisasi, kelompok yang ‘memberi keuntungan’ dan kelompok yang tak menguntungkan. Pelayanan harus dilakukan secara total, tidak setengah hati, apalagi tanpa hati. Dengan demikian, warga jemaat akan semakin terpanggil dan terdorong dalam melakukan kebaikan Allah di dalam kehidupan persekutuan mereka bersama. Pendeta harus memiliki kemampuan untuk memotivasi, menata dan memberi teladan yang baik di dalam seluruh penatalayan di tegah-tengah gereja. Utamanya, hidup para pendeta di dalam di dalam pandangan seluruh jemaat yang dilayani, harus tetap menjaga keteladanan dalam ‘parhahamaranggion’ yang sungguh-sungguh. Jangan ada yang ribut karena hamauliateon. Jangan berselisih karena diskrimanasi pelayanan terhadap ‘yang kaya’ dan yang tidak. Jangan ada diskriminasi karena kelompok ‘sono’ dan kelompok ‘sini’. Let the church be the church. Parahahamaranggion tak boleh dirusak oleh periodisasi kepemimpinan yang sangat temporer dan sesaat. Sekali abang-adik-kakak, marilah tetap dijaga dengan baik dan lestari.
Demikian juga dalam tahun politik dan pemilihan presiden dan wakil presiden termasuk pemilihan anggota legislatif ditahun depan, gereja harus memperlihatkan kualitas hidup di dalam kasih Kristus yang sempurna, yaitu melihat setiap jejak rekam dan komitmen para calon pemimpin bangsa, yang sungguh-sungguh mencintai masyarakat, bangsa dan negara dalam rangka pembangunan manusia yang utuh dan menuju masyarakat adil dan makmur. Saat ini, kita semakin melihat gesekan yang semakin tinggi, ketegangan masyakarat, pemberitaan media yang semakin luas/massif dan percakapan politik yang semakin sering terjadi, baik di rumah juga di tengah-tengah lingkungan gereja. Sangat disayangkan, apabila ada pendeta yang terlibat dalam politik praktis, yang memberi pemihakan secara terbuka kepada satu partai politik. Gereja harus bersih dari sikap partisan, karena dapat menstimuli ketegangan bahkan perselisihan di dalam jemaat yang memiliki pilihan partai politik berbeda-beda. Sebagai gereja kita harus menjauhkan sikap diskriminatif dan rasis dalam menentukan nasib bangsa dengan memilih pemimpinan kita hanya dengan orientasi yang primordialistik, rasis dan diskriminatif. Pendeta harus mampu menjadi rekonsiliator yang baik. Pendeta harus mampu memberikan kebaikan Allah kepada siapapun, tanpa memandang muka. Sebab Tuhan sendiri mengasihi semua dengan memberi matahari dan hujan kepada seluruh umat manusia di muka bumi ini.
Penutup
Marilah kita belajar dengan terus-menerus sebagai tanda komitmen dan integritas pengikut/murid Kristus, yang setia dan semakin sempurna di dalam kasih, sehingga kita mampu mendoakan dan menerima musuh kita. Tuhan Yesus sendiri memberi teladan ini kepada kita, agar tidak membeda-bedakan siapapun. Bahkan kasih itu tidak terbagi dan tidak terjebak dengan perangkat : primordialistik, rasis dan diskriminatif. Dan semogalah kebaikan Allah itu boleh menghidupi, menjiwai relasi kita sesama pendeta, menjiwai pelayaanan kita, menjiwai relasi kita dimasyarakat dan lingkungan kita masing-masing.
Rapat pendeta distrik ini akan menjadi kesempatan yang baik, dalam mengingatkan kita pribadi lepas pribadi, agar kita membuka diri serta bersedia untuk belajar kembali dalam rangka untuk membarui diri serta memperkaya sikap profesional, sehingga dengan peningkatan mutu dan kualitas kita akan menghadirkan kebaikan Allah dalam lingkungan pelayanan kita di semua aras pelayanan. Dengan demikian, kegembiraaan, sukacita serta kebaikan akan mengiringi perjalanan HKBP di masa-masa : kini dan mendatang. Dan nama Tuhan pun akan semakin dipermuliakan Amin ! Pdt.Maulinus Siregar