Selama tiga hari ke depan, Gereja Methodist Indonesia (GMI)akanmelaksanakan Konperensi Agung (KONAG) ke XV. Selain menjadi ruang untuk evaluasi dan refleksi dari perjalanan GMI empat tahun belakangan, momentum ini menjadi arah gerak dan memilihpemimpin GMI, khususnya empat tahun mendatang.Tentu setiap kepemimpinan tidak ada yang sempurna, selalu ada kekurangan-kekurangan yang harus diperbaiki.KONAG XV harus menjadi evaluasi besar-besaran pada lembaga yang telah dibentuk: Sekolah, Universitas, dan Rumah Sakit, bahkan GMI itu sendiri. Seperti frasa umum yang sering kitadengar dalam gereja reformasi:Ecclesia Reformata Semper Reformanda(Gereja reformasi harus selalu direformasi). Momen ini harus menjadi pembaharuan radikal untuk merancang arah gerak GMI ke depan dan menetapkan pemimpin yang visioner untuk menjalankan kerja-kerja GMI.KONAG XV bukan sekadar rutinitas organisatoris, melainkan sebuah saluran anugerah momen kairos teologis, waktu yang krusial yang menuntut sikap profetik dari peserta KONAG XV.Catatan ini sebagai bentuk perhatian untukGMI dalammomentum KONAG XV, khususnya para peserta KONAG XV terhadap kondisi GMI hari ini: apakah ia sedang menujuhealing(pemulihan) atau hilang (kehancuran)?
Evaluasi GMI
Pertanyaan Quo Vadis Ke mana Engkau pergi?yangpernah diajukan kepada Rasul Petrus, kini relevan diajukan kepada GMI.Gereja yang pernah berjaya dalam bidang pendidikan, pelayanan sosial, dan penjangkauan holistik kini berada di persimpangan jalan, hidup segan tapi mati tak mau.Misalnya sekolah dan kampus yang dikelola oleh GMI.Warisan methodist yang kental dengan semangat mencerdaskan bangsa kini menghadapi realitas yang memprihatinkan.Lembaga sekolah dan kampus milik GMI (PKMI, UMI, STT GMI) yang dahulu menjadi idola dan penentu standar kualitas, kini berada dalam bayang-bayang kemunduran.Kepercayaan masyarakat terhadap sekolah dan kampus milik GMI menurun drastis, tergerus oleh sekolah swasta lain yang lebih agresif dalam inovasi dan manajemen modern.Demikian juga dengan rumah sakit milik GMI (RS Susanna Wesley).Institusi kesehatan yang seharusnya menjadiperwujudan nyata kasih Kristus kini berada di bawah bayang-bayang komersialisasi.Praktik penyewaan aset rumah sakit dengan sistem build, operate, transfer (BOT) secara terang-terangan menunjukkan adanya keraguan gereja dalam mengelola warisan pelayanannya sendiri. Keputusan BOT, meskipun mungkin dipandang sebagai solusi pragmatis untuk mengatasi kesulitan finansial, risiko manajemen, dan tuntutan modernisasi, sesungguhnya adalah pengakuan implisitakankegagalan gereja dalam menjalankan mandat sosialnya.Dengan menyerahkan pengelolaan operasional kepada pihak luar, gereja kehilangan kendali langsung atas etos pelayanan.Pertanyaannya, apakah rumah sakit yang dikelola secara komersial masih dapat menjamin bahwa pelayanan diberikan atas dasar kasih dan tanpa diskriminasi, sesuai dengan semangat GMI terhadap pelayanan sosial, ataukahiahanya akan menjadi unit bisnis yang berorientasi pada profit semata?Aset ini bukan sekadar properti, melainkan monumen kesaksian yang terancam kehilangan ruhnya.
Jika kemunduran ini terus berlanjut, maka keniscayaan kehilangan GMIakanmenjadi sangat nyata.IstilahThe Right Man On TheRight Placeharus dilakukan untuk mengelola lembaga-lembaga ini.Menempatkan orang yang tidak kompeten pada tempatnya adalah bentukbunuh diriinstitusi.Misalnya menempatkan orang yang tidak memiliki pengetahuan, pengalaman dan rekam jejak di dunia pendidikan untuk memimpin di lembaga pendidikanakanmenghancurkan lembaga tersebut.Maka penting menempatkan orang sesuai dengan kompetensinya, bukan sebatas kedekatan hubungan emosionalnya, ini yang disebut dengan sistem meritokrasi (menempatkan orang sesuai dengan keahliannya).
Demikian juga persoalan paling radikal yang harus di evaluasi dalam tubuh GMI adalah persoalan kesejahteraan ekonomi dan penempatanpekerja (Pendeta dan Guru Injil).Peserta KONAG XV harus memberikan perhatian lebih pada persoalan ini.Ketidakpastian jaminan ekonomi menimbulkan ketakutan penempatan (ketakutan bagi pekerja ketikaiaditempatkan di manapun). Pekerjaakancenderung menghindari pos-pos pelayanan yang dianggap sulit secara finansial, terutama di daerah pedalaman atau pos perintisan.Sementara pekerja yang ditempatkan di jabatan strukturalDistritk Supretendent, Chaplin,dan pengawas Yayasan misalnya, memiliki nafkah yang sejahtera bahkan berlebih yang menyebabkan kesenjangan antar pekerja.Maka KONAG XV perlu mengatur dan menetapkan minimal standar nafkah bagi para pekerja,lalu ditetapkan dalam Disiplin GMI sehingga tak ada kekuatiran bagi pekerja ditempatkan dimanapuniaakan ditempatkan. Implementasinya dapat diwujudkan melalui sistemdesentralisasisilang dimana gereja-gereja yang kuat secara ekonomi menopang yang lemah untuk menafkahi pekerja.
Arah Gerak GMI ke depan.
Dalam satu dekade bahkan lebih belakangan ini, tidak ada seruan profetik GMI terkait persoalan bangsa dan negara.GMI sebagai lembaga moral harus berpartisipasi bagi dunia.Melibatkan dirinya sebagai mitra kritis bagi negara.GMI hidupseperti "katak dalam tempurung”, terlalu sibuk pada urusan internal yang remeh-temeh namun bungkam terhadap persoalan bangsa dan negara.Padahal Visi GMI dalam RENSTRA 2018-2033 adalah "Gereja Bertumbuh Memberkati Seluruh Ciptaan", terdengar agung di atas kertas, tetapi menjadi hampa tanpa manifestasi konkret di tengah dunia.Melalui momentum KONAG XV, GMI harus memberikan suara profetiknya dan berani melibatkan diri sebagai mitra kritis bagi negara.
Mengingat kembali seruan John Wesley,The World Is My Parish.Sebagai lembaga moral, GMI harus berani bersuara di ruang publik, bukan sebagai partisan politik, melainkan sebagai penjaga moral bangsa.Suara profetik berfungsi untuk menerangi kegelapan, mengoreksi ketidakadilan, dan menyuarakan harapan ilahi di tengah realitas dunia.Misalnya, dimana sikap profetik GMI terhadap persoalan lingkungan pada PT. TPL?Apasikap GMI terhadap persoalan korupsi di Indonesia?Apasikap GMI terhadap persekusi ibadah yang dialami orang Kristen?Apasikap GMI terhadap Pendidikan?Apayang dilakukan GMI terhadap kemiskinan?Banyak hal yang harus disikapi GMI sebagai lembaga moral.Sikap-sikap profetik ini bahkan tidak pernah tampak dan terdengar dari GMI, seakan-akan GMI menjauhkan dirinya dari dunia tempat dia hidup.Lalu pertanyaannya adalah dengancaraapa GMI hadir menjadi berkat bagi seluruh ciptaan?karenaberdoa saja tidak cukup, GMI harus hadir. Tentu kehadirannya tidak hanya cukup pada suara-suara profetik, GMI harus memastikan kehadirannya melalui aksi nyata yang menyentuh akar persoalan, dengancaraadvokasi misalnya.
Arah gerak ini juga menjadi jembatan untuk mendistribusikan pekerja GMI, baik pendeta atau guru Injil untuk terlibat dalam lembaga-lembaga eksternal (PGI, pemerintah, NGO, universitas, dll).Tentu dengan mempersiapkan pekerja terbaik yang memiliki kapabilitas dan skill.Langkah ini selain distribusi pekerja GMI juga penanaman pengaruh profetik GMI di ruang publik, sesuai dengan panggilan gerejasebagai garam dan terang dunia.Sehingga arah gerak GMI ke depan adalah bertransformasi dari gereja yang sibuk dengan urusan internal yang remeh-temeh menjadi gereja yang berani menanggung risiko profetik, memastikan bahwa setiap langkahnya adalah mewujudkan Kerajaan Allah di bumi Indonesia. Sebagaimana Visi RENSTRA GMI, Gereja Bertumbuh Memberkati Seluruh Ciptaan.Menjadi berkat adalah tentang hadir, terlibat, dan menderita bersama dunia yang diperjuangkan.
Siapa yang layak memimpin GMI empat tahun ke depan?
Krisis kepemimpinan dan kesatuan adalah penyakitutama yang harus dipecahkan GMI.karenaitu, kepemimpinan GMI empat tahun ke depan haruslah figur yang berkarisma dan visioner, yang mampu merobek status quo yang stagnan.Pemimpin ini tidak bisa hanya mewarisi tradisi tanpa kemampuan transformatif.Ia harus menjadi agen penyembuh dengan kapabilitas teologis dan praksis yang jelas, sebab nasib GMI berada diantara "Healingatau Hilang" yang bergantung pada kemampuan pemimpin menyelesaikan masalah struktural ini.
Kapabilitas pertama yang krusial adalah menyatukan faksi-faksi.Kepemimpinan yang baru harus mampu bertindak sebagai tokoh rekonsiliatif yang mengatasi polarisasi internal yang selama ini menguras energi dan sumber daya GMI.Ini membutuhkan karisma yang melampaui ikatan etnis atau faksi politik gerejawi, serta visi teologis yang kokoh untuk meyakinkan seluruh jemaat bahwa pluralitas dan keragaman di GMI adalah kekuatan misioner, bukan sumber perpecahan.Secara praksis, pemimpin harus menjamin tata kelola yang inklusif dan transparan agar semua pihak merasa terwakili, menghentikan budayazero-sum gameyang merusakpersekutuan.
Kapabilitas kedua adalah Membangun citra positif di mata publik.Pemimpin yang visioner harus berani memposisikan GMI sebagai mitra kritis negara dan menjauhkan gereja dari label "katak dalam tempurung."Ini diwujudkan melalui suara profetik yang vokal terhadap isu-isu keadilan, seperti korupsi, membela korban persekusi ibadah, dan bersikap tegas terhadap perusakan lingkungan.Bersamaan dengan itu, citra positif dibangun melalui pelayanan yanggenuine, yakni memastikan bahwa aset GMI (sekolah, rumah sakit) dikelola secara profesional namun tetap berpegang pada etos kasih dan pelayanan holistik methodist, sehingga kehadiranGMIbenar-benar dirasakan manfaatnya oleh masyarakat luas.
Kapabilitas ketiga adalah membangun jaringan eksternal eklesiologi oikumenis.Pemimpin baru harus segera mengakhiri isolasi GMI dengan secara proaktif memperkuat jaringan oikumenis dengan PGI di tingkat nasional dan terutama memanfaatkan kekuataninternasional methodist.Jaringan ini bukan sekadar formalitas, melainkan saluran strategis untuk pertukaranexpertise(guna mendukung revitalisasi aset dan manajemen), mendapatkan dukungan advokasi global, serta memperkaya wawasan teologis dan misi GMI.Dengan demikian, GMI dapat berpartisipasi dalam misi global dan mengangkat isu-isu domestiknya ke forum internasional.
Kepemimpinan empat tahun ke depanharus menjadi perpaduan antara pastor, dministrator, dan prophet yang mampu memimpin perubahan.Pemimpin baruharus sanggup mengambil risiko untuk menyembuhkan luka internal melalui manajemen yang bersih dan penyatuan, sekaligus berani memimpin GMI keluar untuk memberkati dunia melalui suara dan aksi profetik yang nyata.Jika pemimpin yang terpilih mampu merealisasikan ketiga kapabilitas ini, GMIakanbangkit; sebaliknya, jika status quo yang berpuas diri dipertahankan, GMI terancam hilang relevansinya.
Masa depan GMI empat tahun ke depan ditentukan tiga hari ke depan oleh peserta KONAG XV.
Selamat melaksanakan KONAG XV GMI
Jakarta, 23 Oktober 2025
Panca Situmorang